ASAL USUL KATA KEBUDAYAAN DAN SEJARAHNYA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
ASAL MULA NAMA ACEH
Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.
Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
6. Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7. Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8. Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum. ”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).
9. Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.
10. Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.
13. Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
10 SIIKAP YANG DIPENGARUHI UNSUR UNSUR BUDAYA ACEH :
1. KOMUNIKASI DAN BAHASA
• Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.
• Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
• Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
• Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
• Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.
• Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.
• Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
• Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
• Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.
2. PAKAIAN DAN PENAMPILAN
Pakaian Adat Aceh secara umum terbagi menjadi 4 kategori, diantaranya yaitu ulee balang yang dapat digunakan untuk para raja beserta warisan dan keturunannya dan juga untuk para pemuka agama. Untuk Pakaian Adat Tradisional Aceh kategori ulee baling merupakan kategori tertinggi dalam kepemimpinan aceh yang dapat menggunakan busana tersebut, di Aceh busana tersebut hanya dapat digunakan oleh orang – orang dengan golongan atas.
Mengetahui Lebih Detil Tentang 4 Kategori Tersebut
Lalu ada kategori warga dalam Pakaian Adat Aceh yang menggunakan busana patut – patut, pada kategori ini busana yang digunakan untuk orang – orang yang tergolong dalam kategori pejabat Negara maupun orang yang berada dalam pemerintahan. Orang yang secara umum berada dalam posisi pemerintahan yang kemudian dapat memimpin rakyat, menggunakan busana patut – patut yang merupakan golongan manusia tingkat menengah di Aceh.
Dan yang terkahir dalam Pakaian Adat Aceh adalah kategori rakyat jelata, orang yang masuk kategori rakyat jelata merupakan orang – orang biasa yang tidak memiliki kedudukan yang secara umum merupakan golongan paling kecil dan tidak terlalu diperhitungkan. Orang yang berada pada kategori rakyat jelata, merupakan orang yang tidak berpendidikan, dan merupakan masyarakat yang kurang mampu dan dapat disebut sebagai penduduk biasa yang tidak memiliki kuasa terhadap Aceh.
Untuk Pakaian Adat Tradisional Aceh Ulee Baling sendiri merupakan pakaian tradisional Aceh yang megah dengan berbagai macam aksesoris dari emas asli, Ulee Balang adalah salah satu pakaian adat dari Aceh yang sangat terkenal dan dikagumi oleh banyak orang. Desain yang ada dlam Ulee Balang ini termasuk unik dikarenakan dengan tampilan yang memukau mata dan juga dengan corak yang indah dan penuh dengan emas di sekitar baju dan juga sebagai alas kepala dengan penuh balutan emas murni. Semua keluarga yang termasuk golongan bangsawan dapat menggunakan pakaian tradisional ini, bahkan untuk para anak kecil juga dapat menggunakan Ulee Baling ini namun dengan corak yang lebih sederhana dalam Pakaian Adat Tradisional Aceh.
3. MAKAN DAN KEBIASAAN MAKAN
Permintaan produk peternakan utamanya daging umumnya meningkat tajam pada hari-hari besar keagamaan. Bagi masyarakat muslim menjelang Ramadhan dan lebaran (Hari raya Idul Fitri dan Idul Adha) daging banyak diburu untuk keperluan rumah tangga. Tradisi masyarakat jawa seperti "sadranan" mengharuskan mengkonsumsi daging ayam pada bulan Sa’ban atau satu minggu jelang Ramadhan akibatkan melonjaknya harga lantaran banyaknya permintaan. Sadranan adalah tradisi jawa yang merupakan akulturasi dari budaya hindu jawa dengan islam. Ketika sadranan tiba, setiap warga mempersiapkan sajian istimewa berupa "ingkong", yaitu ayam jantan yang dimasak dengan cara dikukus utuh dalam bentuk karkas. Acara sadranan diawali dengan bersih-bersih kampung dan makam, kemudian ziarah kubur sebagai upaya mendoakan para leluhur dan diakhiri makan bersama dengan menu ingkong. Di tempat lain, seperti Aceh juga memiliki tradisi serupa yang dikenal istilah "Meugang". Kebiasaan masyarakat Aceh yang membeli dan mengkonsumsi daging satu dua hari menjelang puasa atau lebaran mengakibatkan melonjaknya permintaan terhadap sumber protein hewani ini. Di hari ini setiap kepala keluarga di Aceh “harus” membeli daging, terutama daging sapi atau kerbau minimal 1-2 kg untuk dibawa pulang dan dikonsumsi bersama keluarga atau diantar kerumah orang tua atau mertua. Bagi yang memiliki harta lebih juga memberikannya kepada tetangga atau lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan dan pondok pesantren. Sehingga tidaklah mengherankan, jika di hari "Meugang" permintaan daging sangat tinggi dan disetiap pelosok Bumi serambi mekah ini dihiasi dengan pemandangan pemotongan hewan secara massal, termasuk di instansi pemerintah maupun swasta. Bagi masyarakat desa yang jauh dari akses perkotaan, biasanya untuk memeroleh daging dilakukan dengan cara patungan (iuran). Masyarakat secara bersama-sama mengumpulkan uang untuk membeli seekor sapi atau kerbau. Kepala Desa atau seseorang yang dipercaya oleh masyarakat sangat besar perannya dalam mencari pedagang sapi atau daging yang mau memberikan kredit dan pembayarannya biasa dilakukan setelah masa panen tiba. Tingginya permintaan daging sapi, ayam dan kerbau saat "Sadranan/Meugang" berpengaruh langsung terhadap harga. Biasanya konsumen tidak lagi berpatokan pada harga murah untuk membeli daging, tapi berapapun harga dipasaran, konsumen tetap membelinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
4. NILAI DAN NORMA
NORMA
Ada tiga macam norma yang berperan dalam pengendalian sosial, yaitu norma-norma yang berasal dari adat kebiasaan, norma-norma agama dan norma-norma hukum. Yang pertama dan kedua saling mengisi dan sudah lama bertahan lama dalam masyarakat sebagai landasan pengendalian sosial, sedangkan yang terakhir masih merupakan sistem nalia baru yang sedang dikembangakan oleh lembaga kekuasaan formil.
Lembaga keluarga merupakan salah satu wadah terpenting dalam melakukan pengendalian sosial. Di situ norma-norma adat kebiasaan dan agam memainkan peran paling utama. Hal ini terutama dapat dilihat dalam proses pendidikan anak-anak. Peranan norma-norma agama juga nampak berpengaruh dalam lembaga perekonomian. Selain itu peranan ulama senagai juru damai dalam sengketa rumahtangga atau pertiakaian sosia; juga menunjukkan bahwa masyarakat merasa terikat dengan norma dan lembaga agama.
menurut hasil penelitiannya, masyarakat tidak begitu merasa terikat dengan norma-norma hukum, karena wibawa aparat atau lembaga yang melaksanakan masih lemah. Sebahagian dari kelemahan itu berasal dari tingkah laku sbagian pejabatnya yang kadana-kadang dianggap menyimpang atau kurang susuai dengan hukum yang seharusnya mereka laksanakan. Disamping itu, kepala mukim atau keuchik lebih banyak berpegang pada norma-norma adat kebiasaan setempat. Ini rupanya menguatkan analisa macthar tentang pemimpin formil tradisionil.
NILAI
Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Melalatoa, 2005: 10). Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya yang terkait dengan kepemimpinan.
Pemahaman nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh dengan menelaah dan mendalami peribahasanya (P. Lunde dan Wintle, 2010). Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja (1984: 32), sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
5. KEBIASAAN KERJA (ETOS KERJA)
BUDAYA ACEH memberi nilai amat tinggi terhadap kerja atau pekerjaan. Penghargaan tertinggi, bahkan menjurus ekstrim terungkap dalam sebuah Hadih Maja (pepatah Aceh) : “Tukok jok tukok u, nabuet nabu! (pelepah enau pelepah kelapa, baru bisa makan kalau ada kerja).
Kesadaran kerja ini berlandaskan iman, yang berkeyakinan bahwa Allah SWT telah “menaburkan” rezeki bagi segenap makhluk-Nya di muka bumi. Kewajiban manusialah berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkannya. “meunyo hana tatem mita, pane atra rhot di manyang” (kalau bukan lewat usaha, tak mungkin harta jatuh dari langit/ atas).
Bila mendambakan keberhasilan; berusahalah sekuat tenaga, peras keringat, banting tulang;- sebab tak sesuatu pun bisa diperoleh secara “gratis”, dengan berdiam diri atau “duek teuseupok meulhok ngon jaroe atau pun lale tumpang keueng” duduk berpangku tangan atau menopang dagu). “Meugrak jaroe meu ek gigoe” (singsingkan lengan, dapat mangan; makan). “Rezeki ngon tagagah, tuah ngon tamita. Tuah meubagi-bagi raseuki meujeumba-jeumba” (Rezeki harus diusahakan, keberuntungan-tuah; mesti dicari. Pada keberuntungan takdir Tuhan-lah yang menentukan; begitu pula dengan hal rezeki).
Pepatah Aceh di atas menekankan, bahwa dalam soal beruntung atau malang nasib insan di dunia, takdir Tuhan juga berperan. Ini pernyataan iman, dan sangat penting untuk mencegah rasa putus asa, akibat kecewa jika ditimpa kerugian, kemalangan atau musibah tak terduga dalam kegiatan berusaha.
Masyarakat Aceh sejak dulu dikenal sebagai “China berkulit hitam”. Istilah ini bukan berarti orang Aceh itu keturunan China. Akan tetapi adapun maksud dari istilah tersebut adalah adanya beberapa kesamaan karakter antara orang Aceh dan orang China dalam berdagang yaitu:
Kerja Keras dan Semangat Tinggi
Kerja keras merupakan point pertama yang dimiliki masyarakat Aceh dahulu. Semangat yang berapi-api seakan menjadi symbol nyata dalam prinsip perdagangan masyarakat Aceh. Sebagai contohnya yaitu pada abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
6. KEPERCAYAAN DAN SIKAP
Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang religius. Agama Islam memainkan peranan penting dalam mengarahkan perilaku keseharian masyarakatnya. Namun, dalam kenyataan, masih terdapat beberapa unsur kepercayaan pra Islam yang berkembang dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha menggali unsur kepercayaan animisme dan dinamisme dalam masyarakat Islam Aceh, baik mulai dari kelahiran sampai kematian maupun kepercayaan yang masih dipertahankan. Penelitian eksploratif ini menggunakan pendekatan kualitatif. Studi ini menemukan bahwa, masyarakat Islam Aceh hingga sekarang ini masih mengamalkan dan memercayai ajaran agama dan kepercayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Mereka percaya dan menganggap bahwa objek tertentu mempunyai kekuatan gaib serta dapat memberikan pertolongan, suatu kepercayaan yang berbau bid’ah dan tahayul yang sudah menyatu menjadi bentuk kepercayaan yang tidak terpisahkan dalam keseharian masyarakat.
militan
Artinya memiliki semangat juang yang tinggi, bukan hanya dalam memperjuangkan makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga diri atau eksistensinya.
(Rencong, pedang pusaka ayah, rudoh, siwah keris warisan.
Daripada hidup di dalam susah, biar bermandikan padang di tengah padang)
reaktif
Artinya sebagai sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaanya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh sangat peka terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak suka diusik, sebab jika tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam.
"Orang Aceh tak boleh tersinggung perasaannya, jika sudah tersinggung nasi lebih pun untuk kita takkan ditawarkannya. Namun sebaliknya, apapun akan mereka berikan jika tak menyinggung perasaan mereka)
konsisten
Hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas, taat asas apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran.
Sepuluh pintu tertutup, ada satu yang terbuka.
optimis
Hal tersebut tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui.
Cap dibatu paku dipapan, seperti yg sudah saya katakan tak boleh tertukarkan
loyal
Hal ni amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang, lebih-lebih pemimpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang Aceh maka mereka akan mebaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin.
Adak lam prang pih lon srang-brang. Bah matee di blang ngon sabab gata
7. WAKTU DAN KESADARAN AKAN WAKTU
Suku Aceh atau yang biasa menyebut dirinya dengan Ureung Aceh, memang tidak memiliki definisi yang pasti mengenai waktu. Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu pada kehidupan mereka, seperti saat mencari jodoh, mencari pekerjaan, dan menanam padi di sawah, mereka merencanakan waktunya dengan tepat, karena hal itu akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan kegagalan mereka menjalani tiga hal tersebut.
Seperti telah dikelaskan, Ureung Aceh sangat memperhatikan waktu dalam mengurusi tiga hal, yaitu rezeki, jodoh, dan musim tanam, karena hal itu menyangkut keberhasilan dan kegagalan mereka dalam mencari rezeki, kecocokan mendapatkan jodoh yang sesuai dengan hati, dan keberhasilan dan kegagalan panen. Berikut adalah perhitungan waktu pada tiga bidang di atas.
a. waktu untuk mencari jodoh dan rezeki
Sehubungan dengan jodoh dan rezeki, Ureung Aceh membagi waktu dalam empat arti yang sederhana dan mudah untuk dipahami serta mudah untuk dipraktekkan oleh siapapun. Empat arti tersebut meliputi langkah (baik), raseuki (rezeki), peuteumun (pertemuan jodoh), dan maut (tidak baik). Arti-arti di atas nantinya akan dipadu padankan dengan hari dan bulan hijriah sebagai sistem perhitungan bulan yang umum di kalangan Ureung Aceh.
Rincian pembagian waktu dan arti tersebut adalah sebagai berikut.
1. tanggal 1 = langkah (baik untuk jodoh dan rezeki)
2. tanggal 2 = raseuki (rezeki)
3. tanggal 3 = peuteumun (pertemuan jodoh)
4. tanggal 4 = maut ( tidak baik untuk semua)
5. tanggal 5 = langkah
6. tanggal 6 = raseuki
7. tanggal 7 = peuteumun
8. tanggal 8 = maut
Begitu seterusnya, empat arti tersebut diurutkan sesuai tanggal dan tidak boleh dibolak-balik.
Pengaktualisasian hitungan waktu di atas cukup mudah. Jika seseorang ingin melakukan sesuatu, seperti berangkat melamar perempuan dan melaksanakan pernikahan; akan berangkat melamar pekerjaan atau merantau ke luar Aceh untuk mencari pekerjaan, maka agar keinginan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan sesuai rencana, hendaklah disesuaikan dengan hitungan waktu tersebut, yaitu pada tanggal yang masuk dalam arti langkah, raseuki, dan peuteumun (Sufi, 2004).
b. waktu untuk menanam padi
Adapun sehubungan dengan waktu musim menanam padi di sawah, Ureung Aceh memiliki hitungan waktu yang berbeda dari perhitungan waktu mencari jodoh dan mencari rezeki. Untuk menentukan kapan waktu menanam padi yang tepat, Ureung Aceh mempunyai rumus seperti halnya rumus dalam mata pelajaran matematika, fisika, atau kimia.
Rumus tersebut adalah K= C-2 x B.
Keterangan:
K = keuneunong yang berarti keadaan musim
C = angka konstanta atau angka tetap yaitu angka 25
2 = angka tetap untuk pengalian
B = bulan masehi yang sedang berjalan
Selanjutnya, hasil pengalian rumus di atas akan dicocokkan dengan ketentuan keuneunong (keadaan musim) menurut Ureung Aceh, yaitu:
1. Keuneunong 1 jatuh pada bulan Desember. Pada bulan ini, seluruh pekerjaan di sawah harus sudah selesai
2. Keuneunong 3 jatuh pada bulan November. Pada bulan ini, penanaman harus sudah mencapai tahap akhir
3. Keuneunong 5 jatuh pada bulan Oktober. Bulan ini adalah bulan yang paling tepat untuk mulai menanam
4. Keuneunong 7 jatuh pada September. Ini adalah bulan yang paling tepat untuk menyemai bibit secara merata
5. Keuneunong 9 jatuh pada bulan Agustus. Bulan ini masa yang tepat untuk menanam jenis padi yang memerlukan waktu agak panjang masa panennya
6. Keuneunong 11 jatuh pada bulan Juli. Pada bulan ini masa yang tepat untuk menanam jenis padi yang memerlukan waktu yang panjang masa panennya
8. KESADARAN DIRI DAN RUANG
kesadaran masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat, yang telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Begitulah makna adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai sekarang ini, apabila pada satu moment kita tidak menjalankan adat atau berupa upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan. Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam.
9. HUB. KEKELUARGAAN, ORGANISASI & LEMBAGA PEMERINTAH
Orang Aceh menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral.
Prinsip ini menyebabkan tidak ada perbedaan istilah kekerabatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah,ibu dan anak-anak yang belum menikah.
Namun bagi anak laki-laki sejak berumur 6 tahun hubungannya dengan orang tua mulai dibatasi. Proses sosialisasi dan enkulturasi lebih banyak berlangsung di luar lingkungan keluarga.
Proses sosialisasi yang demikian menyebabkan hubungan yang tidak terlalu intim namun bukan berarti tidak saling menyayangi.
Pola hubungan tersebut akhirnya mendorong anak laki-laki untuk pergi merantau.
Status
Pada masa lalu masyarakat suku Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu :
• golongan keluarga sultan : keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon, dan cut.
• golongan ulee balang : keturunan dari golongan keluarga sultan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
• golongan ulama : keturunan pemuka agama. Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku.
• golongan rakyat biasa : keturunan suku aceh biasa.
Sistem organisasi sosial suku Aceh tidak begitu terlihat lagi bila di bandingkan dengan zaman kemerdekaan. Pelapisan sosial yang terdapat di Aceh pada zaman sebelum merdeka lebih di dasarkan oleh faktor keturunan. Setelah kemerdekaan dasar - dasar pelapisan sosial mulai bergeser dan berubah polanya. Secara umum pelapisan sosial suku Aceh sekarang sebagai berikut:
• Golongan penguasa : terdiri penguasa pemerintah dan penguasa pegawai negri.
• Golongan hartawan : terdiri dari pedagang besar, pemilik perkebunan, dan pemilik ternak.
• Golongan rakyat : terdiri dari petani miskin, nelayan, buruh, dan pegawai rendahan.
Sistem Keluarga
Dalam sistem keluarga, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pernikahan
Dalam sistem pernikahan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal. Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumoh tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya.Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Sistem politik dan pemerintahan
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gam pong yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imam mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiapgam pong dipimpin oleh pemuka- pemuka adat dan agama, mengurusi masalah - masalah keagamaan, seperti hukum atau syariat Islam dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena itu, para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat / sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat disebutkan, yaitu Imam Mukim, Qadli, Teungku / teuku.
10. PROSES MENTAL DAN BELAJAR
Kerja Keras dan Semangat Tinggi
Kerja keras merupakan point pertama yang dimiliki masyarakat Aceh dahulu. Semangat yang berapi-api seakan menjadi symbol nyata dalam prinsip perdagangan masyarakat Aceh. Sebagai contohnya yaitu pada abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Pantang Menyerah
Kegigihan masyarakat Aceh telah diakui oleh dunia terutama ketika masyarakat Aceh menjaga lahan rempah-rempahnya. Banyak cara yang telah dilakukan penjajah untuk merebut ladang masyarakat Aceh. Namun usahanya sia-sia belaka. Kekokohan kebersamaan rakyat Aceh yang pantang menyerah menjadi alasan, mengapa belanda takut dan mengatakan Aceh “Pungo” yang artinya gila. Berani mati demi menjaga harta martabatnya.
BUDAYA YANG POPULER DI ACEH
Didong adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.
Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.
Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.
Jalannya Pementasan
Pementasan didong ditandai dengan penampilan dua kelompok (Didong Jalu) pada suatu arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya terdiri dari anggota masyarakat yang memahami ddidong ini secara mendalam
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
ASAL MULA NAMA ACEH
Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.
Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan Muhammad Daud Syah.
Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d 1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
6. Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu),Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7. Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8. Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum. ”Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).
9. Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamaipohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.
10. Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh. Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya ”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
11. Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil, lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12. Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.
13. Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Acehadalah dari suku Mantir (Mantee, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang.
10 SIIKAP YANG DIPENGARUHI UNSUR UNSUR BUDAYA ACEH :
1. KOMUNIKASI DAN BAHASA
• Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.
• Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
• Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
• Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
• Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.
• Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.
• Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
• Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
• Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.
2. PAKAIAN DAN PENAMPILAN
Pakaian Adat Aceh secara umum terbagi menjadi 4 kategori, diantaranya yaitu ulee balang yang dapat digunakan untuk para raja beserta warisan dan keturunannya dan juga untuk para pemuka agama. Untuk Pakaian Adat Tradisional Aceh kategori ulee baling merupakan kategori tertinggi dalam kepemimpinan aceh yang dapat menggunakan busana tersebut, di Aceh busana tersebut hanya dapat digunakan oleh orang – orang dengan golongan atas.
Mengetahui Lebih Detil Tentang 4 Kategori Tersebut
Lalu ada kategori warga dalam Pakaian Adat Aceh yang menggunakan busana patut – patut, pada kategori ini busana yang digunakan untuk orang – orang yang tergolong dalam kategori pejabat Negara maupun orang yang berada dalam pemerintahan. Orang yang secara umum berada dalam posisi pemerintahan yang kemudian dapat memimpin rakyat, menggunakan busana patut – patut yang merupakan golongan manusia tingkat menengah di Aceh.
Dan yang terkahir dalam Pakaian Adat Aceh adalah kategori rakyat jelata, orang yang masuk kategori rakyat jelata merupakan orang – orang biasa yang tidak memiliki kedudukan yang secara umum merupakan golongan paling kecil dan tidak terlalu diperhitungkan. Orang yang berada pada kategori rakyat jelata, merupakan orang yang tidak berpendidikan, dan merupakan masyarakat yang kurang mampu dan dapat disebut sebagai penduduk biasa yang tidak memiliki kuasa terhadap Aceh.
Untuk Pakaian Adat Tradisional Aceh Ulee Baling sendiri merupakan pakaian tradisional Aceh yang megah dengan berbagai macam aksesoris dari emas asli, Ulee Balang adalah salah satu pakaian adat dari Aceh yang sangat terkenal dan dikagumi oleh banyak orang. Desain yang ada dlam Ulee Balang ini termasuk unik dikarenakan dengan tampilan yang memukau mata dan juga dengan corak yang indah dan penuh dengan emas di sekitar baju dan juga sebagai alas kepala dengan penuh balutan emas murni. Semua keluarga yang termasuk golongan bangsawan dapat menggunakan pakaian tradisional ini, bahkan untuk para anak kecil juga dapat menggunakan Ulee Baling ini namun dengan corak yang lebih sederhana dalam Pakaian Adat Tradisional Aceh.
3. MAKAN DAN KEBIASAAN MAKAN
Permintaan produk peternakan utamanya daging umumnya meningkat tajam pada hari-hari besar keagamaan. Bagi masyarakat muslim menjelang Ramadhan dan lebaran (Hari raya Idul Fitri dan Idul Adha) daging banyak diburu untuk keperluan rumah tangga. Tradisi masyarakat jawa seperti "sadranan" mengharuskan mengkonsumsi daging ayam pada bulan Sa’ban atau satu minggu jelang Ramadhan akibatkan melonjaknya harga lantaran banyaknya permintaan. Sadranan adalah tradisi jawa yang merupakan akulturasi dari budaya hindu jawa dengan islam. Ketika sadranan tiba, setiap warga mempersiapkan sajian istimewa berupa "ingkong", yaitu ayam jantan yang dimasak dengan cara dikukus utuh dalam bentuk karkas. Acara sadranan diawali dengan bersih-bersih kampung dan makam, kemudian ziarah kubur sebagai upaya mendoakan para leluhur dan diakhiri makan bersama dengan menu ingkong. Di tempat lain, seperti Aceh juga memiliki tradisi serupa yang dikenal istilah "Meugang". Kebiasaan masyarakat Aceh yang membeli dan mengkonsumsi daging satu dua hari menjelang puasa atau lebaran mengakibatkan melonjaknya permintaan terhadap sumber protein hewani ini. Di hari ini setiap kepala keluarga di Aceh “harus” membeli daging, terutama daging sapi atau kerbau minimal 1-2 kg untuk dibawa pulang dan dikonsumsi bersama keluarga atau diantar kerumah orang tua atau mertua. Bagi yang memiliki harta lebih juga memberikannya kepada tetangga atau lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan dan pondok pesantren. Sehingga tidaklah mengherankan, jika di hari "Meugang" permintaan daging sangat tinggi dan disetiap pelosok Bumi serambi mekah ini dihiasi dengan pemandangan pemotongan hewan secara massal, termasuk di instansi pemerintah maupun swasta. Bagi masyarakat desa yang jauh dari akses perkotaan, biasanya untuk memeroleh daging dilakukan dengan cara patungan (iuran). Masyarakat secara bersama-sama mengumpulkan uang untuk membeli seekor sapi atau kerbau. Kepala Desa atau seseorang yang dipercaya oleh masyarakat sangat besar perannya dalam mencari pedagang sapi atau daging yang mau memberikan kredit dan pembayarannya biasa dilakukan setelah masa panen tiba. Tingginya permintaan daging sapi, ayam dan kerbau saat "Sadranan/Meugang" berpengaruh langsung terhadap harga. Biasanya konsumen tidak lagi berpatokan pada harga murah untuk membeli daging, tapi berapapun harga dipasaran, konsumen tetap membelinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
4. NILAI DAN NORMA
NORMA
Ada tiga macam norma yang berperan dalam pengendalian sosial, yaitu norma-norma yang berasal dari adat kebiasaan, norma-norma agama dan norma-norma hukum. Yang pertama dan kedua saling mengisi dan sudah lama bertahan lama dalam masyarakat sebagai landasan pengendalian sosial, sedangkan yang terakhir masih merupakan sistem nalia baru yang sedang dikembangakan oleh lembaga kekuasaan formil.
Lembaga keluarga merupakan salah satu wadah terpenting dalam melakukan pengendalian sosial. Di situ norma-norma adat kebiasaan dan agam memainkan peran paling utama. Hal ini terutama dapat dilihat dalam proses pendidikan anak-anak. Peranan norma-norma agama juga nampak berpengaruh dalam lembaga perekonomian. Selain itu peranan ulama senagai juru damai dalam sengketa rumahtangga atau pertiakaian sosia; juga menunjukkan bahwa masyarakat merasa terikat dengan norma dan lembaga agama.
menurut hasil penelitiannya, masyarakat tidak begitu merasa terikat dengan norma-norma hukum, karena wibawa aparat atau lembaga yang melaksanakan masih lemah. Sebahagian dari kelemahan itu berasal dari tingkah laku sbagian pejabatnya yang kadana-kadang dianggap menyimpang atau kurang susuai dengan hukum yang seharusnya mereka laksanakan. Disamping itu, kepala mukim atau keuchik lebih banyak berpegang pada norma-norma adat kebiasaan setempat. Ini rupanya menguatkan analisa macthar tentang pemimpin formil tradisionil.
NILAI
Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Melalatoa, 2005: 10). Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya yang terkait dengan kepemimpinan.
Pemahaman nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh dengan menelaah dan mendalami peribahasanya (P. Lunde dan Wintle, 2010). Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja (1984: 32), sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
5. KEBIASAAN KERJA (ETOS KERJA)
BUDAYA ACEH memberi nilai amat tinggi terhadap kerja atau pekerjaan. Penghargaan tertinggi, bahkan menjurus ekstrim terungkap dalam sebuah Hadih Maja (pepatah Aceh) : “Tukok jok tukok u, nabuet nabu! (pelepah enau pelepah kelapa, baru bisa makan kalau ada kerja).
Kesadaran kerja ini berlandaskan iman, yang berkeyakinan bahwa Allah SWT telah “menaburkan” rezeki bagi segenap makhluk-Nya di muka bumi. Kewajiban manusialah berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkannya. “meunyo hana tatem mita, pane atra rhot di manyang” (kalau bukan lewat usaha, tak mungkin harta jatuh dari langit/ atas).
Bila mendambakan keberhasilan; berusahalah sekuat tenaga, peras keringat, banting tulang;- sebab tak sesuatu pun bisa diperoleh secara “gratis”, dengan berdiam diri atau “duek teuseupok meulhok ngon jaroe atau pun lale tumpang keueng” duduk berpangku tangan atau menopang dagu). “Meugrak jaroe meu ek gigoe” (singsingkan lengan, dapat mangan; makan). “Rezeki ngon tagagah, tuah ngon tamita. Tuah meubagi-bagi raseuki meujeumba-jeumba” (Rezeki harus diusahakan, keberuntungan-tuah; mesti dicari. Pada keberuntungan takdir Tuhan-lah yang menentukan; begitu pula dengan hal rezeki).
Pepatah Aceh di atas menekankan, bahwa dalam soal beruntung atau malang nasib insan di dunia, takdir Tuhan juga berperan. Ini pernyataan iman, dan sangat penting untuk mencegah rasa putus asa, akibat kecewa jika ditimpa kerugian, kemalangan atau musibah tak terduga dalam kegiatan berusaha.
Masyarakat Aceh sejak dulu dikenal sebagai “China berkulit hitam”. Istilah ini bukan berarti orang Aceh itu keturunan China. Akan tetapi adapun maksud dari istilah tersebut adalah adanya beberapa kesamaan karakter antara orang Aceh dan orang China dalam berdagang yaitu:
Kerja Keras dan Semangat Tinggi
Kerja keras merupakan point pertama yang dimiliki masyarakat Aceh dahulu. Semangat yang berapi-api seakan menjadi symbol nyata dalam prinsip perdagangan masyarakat Aceh. Sebagai contohnya yaitu pada abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
6. KEPERCAYAAN DAN SIKAP
Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang religius. Agama Islam memainkan peranan penting dalam mengarahkan perilaku keseharian masyarakatnya. Namun, dalam kenyataan, masih terdapat beberapa unsur kepercayaan pra Islam yang berkembang dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha menggali unsur kepercayaan animisme dan dinamisme dalam masyarakat Islam Aceh, baik mulai dari kelahiran sampai kematian maupun kepercayaan yang masih dipertahankan. Penelitian eksploratif ini menggunakan pendekatan kualitatif. Studi ini menemukan bahwa, masyarakat Islam Aceh hingga sekarang ini masih mengamalkan dan memercayai ajaran agama dan kepercayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Mereka percaya dan menganggap bahwa objek tertentu mempunyai kekuatan gaib serta dapat memberikan pertolongan, suatu kepercayaan yang berbau bid’ah dan tahayul yang sudah menyatu menjadi bentuk kepercayaan yang tidak terpisahkan dalam keseharian masyarakat.
militan
Artinya memiliki semangat juang yang tinggi, bukan hanya dalam memperjuangkan makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga diri atau eksistensinya.
(Rencong, pedang pusaka ayah, rudoh, siwah keris warisan.
Daripada hidup di dalam susah, biar bermandikan padang di tengah padang)
reaktif
Artinya sebagai sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaanya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh sangat peka terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak suka diusik, sebab jika tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam.
"Orang Aceh tak boleh tersinggung perasaannya, jika sudah tersinggung nasi lebih pun untuk kita takkan ditawarkannya. Namun sebaliknya, apapun akan mereka berikan jika tak menyinggung perasaan mereka)
konsisten
Hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas, taat asas apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran.
Sepuluh pintu tertutup, ada satu yang terbuka.
optimis
Hal tersebut tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui.
Cap dibatu paku dipapan, seperti yg sudah saya katakan tak boleh tertukarkan
loyal
Hal ni amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang, lebih-lebih pemimpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang Aceh maka mereka akan mebaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin.
Adak lam prang pih lon srang-brang. Bah matee di blang ngon sabab gata
7. WAKTU DAN KESADARAN AKAN WAKTU
Suku Aceh atau yang biasa menyebut dirinya dengan Ureung Aceh, memang tidak memiliki definisi yang pasti mengenai waktu. Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu pada kehidupan mereka, seperti saat mencari jodoh, mencari pekerjaan, dan menanam padi di sawah, mereka merencanakan waktunya dengan tepat, karena hal itu akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan kegagalan mereka menjalani tiga hal tersebut.
Seperti telah dikelaskan, Ureung Aceh sangat memperhatikan waktu dalam mengurusi tiga hal, yaitu rezeki, jodoh, dan musim tanam, karena hal itu menyangkut keberhasilan dan kegagalan mereka dalam mencari rezeki, kecocokan mendapatkan jodoh yang sesuai dengan hati, dan keberhasilan dan kegagalan panen. Berikut adalah perhitungan waktu pada tiga bidang di atas.
a. waktu untuk mencari jodoh dan rezeki
Sehubungan dengan jodoh dan rezeki, Ureung Aceh membagi waktu dalam empat arti yang sederhana dan mudah untuk dipahami serta mudah untuk dipraktekkan oleh siapapun. Empat arti tersebut meliputi langkah (baik), raseuki (rezeki), peuteumun (pertemuan jodoh), dan maut (tidak baik). Arti-arti di atas nantinya akan dipadu padankan dengan hari dan bulan hijriah sebagai sistem perhitungan bulan yang umum di kalangan Ureung Aceh.
Rincian pembagian waktu dan arti tersebut adalah sebagai berikut.
1. tanggal 1 = langkah (baik untuk jodoh dan rezeki)
2. tanggal 2 = raseuki (rezeki)
3. tanggal 3 = peuteumun (pertemuan jodoh)
4. tanggal 4 = maut ( tidak baik untuk semua)
5. tanggal 5 = langkah
6. tanggal 6 = raseuki
7. tanggal 7 = peuteumun
8. tanggal 8 = maut
Begitu seterusnya, empat arti tersebut diurutkan sesuai tanggal dan tidak boleh dibolak-balik.
Pengaktualisasian hitungan waktu di atas cukup mudah. Jika seseorang ingin melakukan sesuatu, seperti berangkat melamar perempuan dan melaksanakan pernikahan; akan berangkat melamar pekerjaan atau merantau ke luar Aceh untuk mencari pekerjaan, maka agar keinginan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan sesuai rencana, hendaklah disesuaikan dengan hitungan waktu tersebut, yaitu pada tanggal yang masuk dalam arti langkah, raseuki, dan peuteumun (Sufi, 2004).
b. waktu untuk menanam padi
Adapun sehubungan dengan waktu musim menanam padi di sawah, Ureung Aceh memiliki hitungan waktu yang berbeda dari perhitungan waktu mencari jodoh dan mencari rezeki. Untuk menentukan kapan waktu menanam padi yang tepat, Ureung Aceh mempunyai rumus seperti halnya rumus dalam mata pelajaran matematika, fisika, atau kimia.
Rumus tersebut adalah K= C-2 x B.
Keterangan:
K = keuneunong yang berarti keadaan musim
C = angka konstanta atau angka tetap yaitu angka 25
2 = angka tetap untuk pengalian
B = bulan masehi yang sedang berjalan
Selanjutnya, hasil pengalian rumus di atas akan dicocokkan dengan ketentuan keuneunong (keadaan musim) menurut Ureung Aceh, yaitu:
1. Keuneunong 1 jatuh pada bulan Desember. Pada bulan ini, seluruh pekerjaan di sawah harus sudah selesai
2. Keuneunong 3 jatuh pada bulan November. Pada bulan ini, penanaman harus sudah mencapai tahap akhir
3. Keuneunong 5 jatuh pada bulan Oktober. Bulan ini adalah bulan yang paling tepat untuk mulai menanam
4. Keuneunong 7 jatuh pada September. Ini adalah bulan yang paling tepat untuk menyemai bibit secara merata
5. Keuneunong 9 jatuh pada bulan Agustus. Bulan ini masa yang tepat untuk menanam jenis padi yang memerlukan waktu agak panjang masa panennya
6. Keuneunong 11 jatuh pada bulan Juli. Pada bulan ini masa yang tepat untuk menanam jenis padi yang memerlukan waktu yang panjang masa panennya
8. KESADARAN DIRI DAN RUANG
kesadaran masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat, yang telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Begitulah makna adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai sekarang ini, apabila pada satu moment kita tidak menjalankan adat atau berupa upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan. Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam.
9. HUB. KEKELUARGAAN, ORGANISASI & LEMBAGA PEMERINTAH
Orang Aceh menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral.
Prinsip ini menyebabkan tidak ada perbedaan istilah kekerabatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah,ibu dan anak-anak yang belum menikah.
Namun bagi anak laki-laki sejak berumur 6 tahun hubungannya dengan orang tua mulai dibatasi. Proses sosialisasi dan enkulturasi lebih banyak berlangsung di luar lingkungan keluarga.
Proses sosialisasi yang demikian menyebabkan hubungan yang tidak terlalu intim namun bukan berarti tidak saling menyayangi.
Pola hubungan tersebut akhirnya mendorong anak laki-laki untuk pergi merantau.
Status
Pada masa lalu masyarakat suku Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu :
• golongan keluarga sultan : keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon, dan cut.
• golongan ulee balang : keturunan dari golongan keluarga sultan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
• golongan ulama : keturunan pemuka agama. Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku.
• golongan rakyat biasa : keturunan suku aceh biasa.
Sistem organisasi sosial suku Aceh tidak begitu terlihat lagi bila di bandingkan dengan zaman kemerdekaan. Pelapisan sosial yang terdapat di Aceh pada zaman sebelum merdeka lebih di dasarkan oleh faktor keturunan. Setelah kemerdekaan dasar - dasar pelapisan sosial mulai bergeser dan berubah polanya. Secara umum pelapisan sosial suku Aceh sekarang sebagai berikut:
• Golongan penguasa : terdiri penguasa pemerintah dan penguasa pegawai negri.
• Golongan hartawan : terdiri dari pedagang besar, pemilik perkebunan, dan pemilik ternak.
• Golongan rakyat : terdiri dari petani miskin, nelayan, buruh, dan pegawai rendahan.
Sistem Keluarga
Dalam sistem keluarga, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pernikahan
Dalam sistem pernikahan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal. Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumoh tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya.Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Sistem politik dan pemerintahan
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gam pong yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imam mukim. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiapgam pong dipimpin oleh pemuka- pemuka adat dan agama, mengurusi masalah - masalah keagamaan, seperti hukum atau syariat Islam dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena itu, para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat / sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat disebutkan, yaitu Imam Mukim, Qadli, Teungku / teuku.
10. PROSES MENTAL DAN BELAJAR
Kerja Keras dan Semangat Tinggi
Kerja keras merupakan point pertama yang dimiliki masyarakat Aceh dahulu. Semangat yang berapi-api seakan menjadi symbol nyata dalam prinsip perdagangan masyarakat Aceh. Sebagai contohnya yaitu pada abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Pantang Menyerah
Kegigihan masyarakat Aceh telah diakui oleh dunia terutama ketika masyarakat Aceh menjaga lahan rempah-rempahnya. Banyak cara yang telah dilakukan penjajah untuk merebut ladang masyarakat Aceh. Namun usahanya sia-sia belaka. Kekokohan kebersamaan rakyat Aceh yang pantang menyerah menjadi alasan, mengapa belanda takut dan mengatakan Aceh “Pungo” yang artinya gila. Berani mati demi menjaga harta martabatnya.
BUDAYA YANG POPULER DI ACEH
Didong adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.
Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.
Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.
Jalannya Pementasan
Pementasan didong ditandai dengan penampilan dua kelompok (Didong Jalu) pada suatu arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya terdiri dari anggota masyarakat yang memahami ddidong ini secara mendalam